Pages

2/3/12

PERKEMBANGAN RANCANGAN ROMO MANGUN (1984-2008) PADA PEMUKIMAN KALI CODE

Perkampungan Code memiliki ciri khas sebagai perkampungan yang berhasil membangun harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri di kawasan ini berderet dengan penataan arsitektural yang bagus, warna-warni yang cerah, lingkungannya tertata dengan baik, menggambarkan perencanaan dan kematangan pengelola dan masyarakatnya.


Tahun 1984 Kampung Code Utara dihuni 35 keluarga. Penghuni kampung ini terus bertambah dan tahun 2007 dihuni 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa. Dulu kampung ini kumuh dan suram. Warga kampung yang rata-rata bekerja sebagai pemulung membangun rumah asal-asalan dari kardus dan plastik bekas. 
Menurut warga yang tinggal di bawah jembatan Gondolayu sejak tahun 1969 menjelaskan, status "kepemilikan" tanah di daerah ini mirip dengan status tanah sepanjang Kali Code yang bersifat digeser alias tidak ada yang memiliki sertifikat. Jikapun ada yang memiliki izin resmi bisa dihitung dengan jari.
 
Modernisasi kota menyebakan lingkungan pemukiman pra sejahtera tidak tertata dengan baik karena tidak mendapat dukungan pemerintah dari luar serta tidak dapat mengembangkan diri.
Keputusan pembangunan ruang perkotaan pun kemudian tidak lagi berada di tangan pemerintah, tetapi di tangan pemilik modal. Pemerintah kota atas nama hukum telah menjadi pembela para pemilik modal karena mereka adalah mesin pencetak pendapatan asli daerah. Akibatnya sangat fatal. Benturan-benturan budaya pun tidak terelakkan. Tidak adanya respek terhadap ruang publik dan menegasikan hak-hak warga kota lainnya sering terjadi. Jalur pedestrian seringkali diambilalih oleh pedagang kakilima, diintervensi oleh sepeda motor, atau diokupasi sebagai pangkalan ojek. 

Perkampungan-perkampungan kota pun seringkali memiliki tata hukum dan nilai sosial sendiri. Hidup membangun rumah di tanah-tanah tidak bersertifikat menjadi hal yang lazim. Akibatnya kelas menengah bawah tidak punya pilihan lain kecuali mundur ke pinggiran kota dengan beban ongkos transportasi yang mahal atau berjejal-jejal di hunian perkampungan kota yang kurang manusiawi di tengah kota. 

Strata identitas ini mudah terbaca dari lokasi dan lingkungan tempat mereka tinggal. Kaum miskin kota umumnya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi mahal dan umumnya berdensitas rendah.

Kawasan tak tertata terus bermunculan karena hanya warga yang memiliki bukti kepemilikan berhak atas rumah susun di kawasan itu. Penyebab lain terkait dengan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi hanya di kota besar, khususnya Jakarta, yang sampai saat ini masih memegang porsi terbesar (65 persen lebih) dalam peredaran uang di Indonesia. Migrasi penduduk ke kota besar untuk mencari penghidupan tak terelakkan.

Melihat permasalahan kota-kota besar di Indonesia yang begitu mendasar dan kompleks, dibutuhkan strategi-strategi khusus dan unik untuk menghadapi isu-isu perkotaaan di atas. 

Kampung di kali Code yang menjadi lebih manusiawi dan kreatif melalui desain dan pendampingan oleh tim Romo Mangun (alm) juga bisa menjadi contoh bagaimana desain dapat menyentuh ruang-ruang marjinal secara spasial yang bukan tidak mungkin akan mempengaruhi pada perbaikan kondisi sosio-kultural.
  
Pra Rancangan
Keterbatasan lahan tempat tinggal serta lajunya pembangunan kota menyebabkan masyarakat  pemukiman kali Code tidak dapat mengikuti arus perkembangan kota.


Pada mulanya, pemukiman Kali Code sendiri tidak pernah menjadi hunian yang mengundang perhatian sebagaimana realita sekarang. Dulu tanah di bawah jembatan Gondolayu ini tidak bertuan. Masyarakat urban yang belum mempunyai tempat hunian kemudian memanfaatkannya sebagai tempat tinggal dengan bangunan seadannya. Orang sering menyebutnya sebagai masyarakat pinggir kali, yang disingkat menjadi Girli.

Kondisi struktur dan infrastruktur sosial komonitas Girli sangat mengenaskan, terlebih londisi perekonomian mereka yang merupakan penyebab dari sekian ironi masyarakit miskin kota. Dengan bangunan yang terbuat dari kardus dan triplek, rumah Girli amat rentan terhadap banjir yang bisa mengancam tiap musim hujan datang. Tapi apa boleh buat, tanpa pilihan mereka tetap menjadikan kawasan kumuh tersebut sebagai tempat hunian setelah mereka lelah bekerja seharian. Kondisi moral akibat keterdesakan ekonomi juga tak kalah mengenaskan.

Kondisi sosial itulah yang kemudian mengundang perhatian seorang pastor, arsitek, dan penulis. Dia adalah YB Mangunwijaya, seorang arsitektur jebolan Aachen, Jerman. Sebagai arsitek secara suka rela dia membangun pemukiman pinggir kali agar layak untuk ditempati dan tidak mudah menjadi korban banjir. Maka dibangunlah pemukiman sederhana tapi artistik dan kokoh di tepi sungai Code di bawah jembatan Gondolayu. Hasil dari karya Romo Mangun itu ternyata memukau publik. Bahwa bangunan rumah yang sederhana dan hanya terbuat dari kayu dan bambu, ternyata membawa keindahan tersendiri.

Beberapa warga kampung Girli Code itu berprofesi mulai dari penjual koran, pengamen, atau penarik becak. Bahkan menjadi perampok dan pekerja seks komersial merupakan pilihan yang mereka jalani demi menyambung hidup. Di bawah dekade 80-an kondisi masyarakat Kali Code sama sekali bukan daya tarik. Jangankan bisa dibanggakan, bertahan dari penggusuran saja merupakan prestasi yang menggembirakan bagi mereka.

Dengan bergotong-royong pembangunan perkampungan Kali Code dimulai. Warga dibantu sejumlah tukang kayu khusus. Namun sebelumnya warga berkumpul dan berdiskusi dengan Romo Mangun serta beberapa pegiat sosial. Keinginan warga dirundingkan, termasuk bentuk bangunan yang diinginkan. Ternyata semua warga sepakat mengubah bangunannya.
Selain mengubah fisik kampung, perlahan Romo Mangun juga mengubah mental warga. Warga yang semula berprofesi sebagai pemulung kini rata-rata bekerja sebagai pedagang, tukang parkir, dan karyawan toko. "Dulu rata-rata semua pemulung atau pengamen. Kami rata-rata sudah di sini sejak tahun 70 atau 80-an. Perubahan ini karena didikan Romo Mangun.

Tahun 1984 Kampung Code dihuni 35 keluarga. Penghuni kampung ini terus bertambah, dan tahun 2007 dihuni 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa. Yang pasti, martabat kampung hunian ini telah diangkat dari pemukiman yang lekat dengan stigma kumuh, kotor, terpencil, dan mengganggu, menjadi kampung berperadaban, bermartabat, dan bernilai, terbukti dengan penghargaan yang diterimanya. Dan yang lebih penting dari semua itu, masyarakat perkampungan Code tidak lagi menghadapi ancaman penggusuran ataupun penertiban dari pihak Pemkot.

Kampung Code merupakan contoh keberhasilan proyek alternatif pembangunan tempat hunian wong cilik. Kampung sederhana ini tertata apik dengan berbagai fasilitas yang juga terbilang unik seperti tempat bermain, aula untuk pertemun warga,WC umum, rumah susun yang sehat, dan balai warga. Usaha itu akhirnya berhasil mengantar lelaki kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, menerima penghargaaan The Aga Khan Award (1992). Tak hanya itu, Kali Code juga meraih The Ruth and Ralp Erukine Fellowship (1995), sebagai bukti keberpihakan Romo Mangun kepada wong cilik.

Perilaku masyarakat terhadap lingkungan tergantung dari penataan bangunan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penataan lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan perilaku masyarakat pemukiman Kali Code sebelum dan sesudah rancangan Romo mangun. Terjadi perubahan perilaku positif dari segi drainase, sanitasi, penanggulangan sampah, derajat kesehatan maupun kehidupan sosiokultur masyarakat. Masyarkat Kali Code diwarisi perilaku hidup sehat dimana kebersihan menjadi hal yang sangat penting mengingat lokasi pemukiman mereka yang dekat dengan sungai. Lingkungan yang bersih ini secara otomatis memberikan efek psikologis terhadap masyarakat agar tetap dan terus menjaga perilaku hidu sehat.

Dengan demikian, kampung Code telah menjadi sebuah miniatur dari peradaban yang berbasis kepada arti penting local wisdom, yang diperlopori oleh seorang local jenius yang gigih. Hal ini dimungkinkan karena Romo Mangun tidak hanya mengubah desain arsitektur fisik perkampungan itu hingga kemudian terlihat lebih tertata, akan tetapi dia juga mendorong terciptanya perubahan sosial (sosial engineering) dengan cara mensolusikan dan memberdayakan perekonomian mereka. Dengan kata lain, sebagai arsitek, dia tidak hanya piawai menata interior dan eksterior sebuah bangunan, akan tetapi mental, moral, dan kepercayaan diri masyarakat Kali Code juga menjadi proyek garapan Romo Mangun.

Melalui perkampungan kali Code, Romo Mangun telah mewariskan kepada sekelompok masyarakat pola hidup dan desain ruang yang baru, kaya akan nilai seni arsitektur, yang bersumber dari kekuatan budaya dan kearifan lokal. Selain itu, lewat kampung itu pula Romo telah memberikan solusi bagi pemerintah dan warga Jogja, khususnya, dan bagi masyarakat berbudaya secara umum.









Diharapkan penataan kembali pemukiman di Code oleh Romo mangun dapat menginsipirasi pelaku pembanguan agar dalam melakukan pembangunan dapat memperhatikan kepentingan masyarakat bawah. 

Agar dapat dilakukan pembangunan yang memihak masyarakat terutama dari kelas menegah kebawah, pemerintah maupun swasta khususnya arsitek harusmemprioritaskan pembangunan yang sesuai agar taraf hidup dan perilaku masyarakat dapat berubah menjadi yang lebih baik.

0 komentar:

Post a Comment